Senin, 10 April 2017

ASAL-USUL KRAMAT JAKA TINGKIR RAWAGEDE

Gapura Sebagai Pintu Masuk Ke Kawasan Petilasan Jaka Tingkir
Belandongan Dan Bangunan Tempat Makom Jaka Tingkir Berada

Apa yang ada dipikiran anda ketika mendengar nama Rawagede? Pasti pikiran anda akan tertuju pada monumen. Ya, Rawagede terkenal dengan monumennya. Agresi militer Belanda kedua pada tahun 1947 banyak menewaskan rakyat sipil Rawagede yang tidak bersalah. Maka dibangunlah sebuah monumen untuk mengenang dan memperingati peristiwa pelanggaran HAM tersebut. Hampir seluruh masyarakat Karawang tahu tentang Monumen Rawagede.
Eits... tunggu dulu. Saya tidak akan membahas Monumen Rawagede. Yang akan saya bahas adalah sebuah tempat pemakaman umum yang terletak tidak jauh dari Monumen Rawagede. Kurang lebih 30 meter ke arah wetan (timur) dari monumen maka akan terlihat sebuah plank papan yang bertuliskan ‘SELAMAT DATANG DIMAKOM JAKA TINGKIR RAWAGEDE’.

Plank Petunjuk Bagi Para Peziarah

Bagi masyarakat Rawagede pemakaman ini bukanlah pemakaman biasa pada umumnya. Pemakaman ini sangat disakaralkan oleh masayarakat Rawagede karena didalamnya terdapat sebuah petilasan yang dipercaya sebagai petilasan Jaka Tingkir. Ya, Raden Jaka Tingkir alias Mas Karebet seorang tokoh dari tanah Demak yang sakti mandra guna. Konon pada zaman dahulu Jaka tingkir melakukan perjalanan ke Padjadjaran (sekarang Jawa Barat-red) dan singgah disuatu perkampungan kecil yang dipenuhi oleh rawa-rawa yang luas disekelilingnya.
Bagaimana asal mula Jaka Tingkir bisa melakukan perjalanan ke Padjadjaran? Lalu apa tujuan Jaka Tingkir datang ke Rawagede? Cerita legenda asal-usul Keramat Jaka Tingkir ini telah dituturkan turun temurun oleh para Pinisepuh (orang-orang terdahulu) di Kampung Rawagede.

SEJARAH SINGKAT JAKA TINGKIR
            Jaka Tingkir lahir dari ayah yang bernama Ki Kebo Kenanga/Ki Ageng Pengging dan ibunya Nyi Ageng Pengging. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Setelah wafat ayahnya yaitu Ki Ageng Pengging, Mas Karebet tinggal di Desa Tingkir bersama Nyi Ageng Tingkir sebagai orang tua angkatnya. Dari sinilah sebutan Jaka Tingkir disematkan kepada Mas Karebet yang artinya adalah pemuda dari Desa Tingkir.
Jaka Tingkir yang masih keturunan bangsawan Majapahit tumbuh menjadi anak yang nakal. Senang mengembara ke gunung-gunung, ke bukit-bukit, keluar masuk hutan, mendatangi tempat-tempat wingit dan angker atau pun menyepi di goa-goa. Di setiap tempat yang dikunjunginya Jaka Tingkir selalu menyempatkan diri untuk menimba ilmu kesaktian kanuragan maupun kesaktian gaib. Selain sering menyepi dan bertapa di goa-goa dan melatih sendiri keilmuannya, Jaka Tingkir juga sering mendatangi panembahan-panembahan dan begawan untuk belajar agama dan memperdalam keilmuannya. Semakin bertambah usianya semakin bertambah ilmunya, sehingga ia memiliki kesaktian yang sulit sekali dicari tandingannya di antara anak-anak lain seusianya.
Jaka Tingkir banyak menimba ilmu dari beberapa guru sakti di Demak. Salah satu yang menjadi gurunya adalah Panembahan Ismaya, seorang ahli ilmu kebhatinan. Banyak sudah yang Jaka Tingkir pelajari dari gurunya Panembahan Ismaya. Namun Panembahan Ismaya merasa apa yang telah diturunkan kepada Jaka Tingkir masihlah belum cukup untuk bekal Jaka Tingkir dimasa depan kelak. Maka diperintahkanlah Jaka Tingkir untuk pergi ke Cirebon guna menemui seseorang untuk berguru kepadanya.

MELAKUKAN PENGEMBARAAN
            Sesuai dengan saran dan petunjuk gurunya, Jaka Tingkir melakukan perjalanan ke Cirebon. Menyusuri luasnya hutan belantara yang gelap dan belum terjamah oleh siapapun. Bagi seorang Jaka Tingkir berada ditengah hutan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari. Berada dihutan yang wingit untuk memperdalam ilmu memang kegemarannya sejak kecil. Tak ada rasa takut sama sekali. Justru Jaka Tingkir amat antusias sekali melakukan perjalanan ini.
Sesampainya di Cirebon ternyata orang yang dicari tidak ada. Menurut informasi yang didapat bahwa orang itu tengah berada disuatu tempat di wilayah Padjadjaran. Tepatnya berada di Muara Tujuh. Tempat yang pastinya sangat asing bagi Jaka Tingkir. Kembali ke Demakpun rasanya tidak mungkin karena itu berarti melanggar perintah Panembahan. Dan itu bertentangan dengan sifat ksatria yang memang sudah tertanam dalam diri Jaka Tingkir. Apapun yang terjadi Jaka Tingkir harus bisa bertemu dengan orang yang dimaksud Panembahan Ismaya dan melaksanakan amanatnya. Maka dari itu Jaka Tingkir memutuskan meneruskan perjalanannya untuk menemukan tempat yang bernama Muara Tujuh itu. Dari sinilah pengembaraan menuju Muara Tujuhpun dimulai.
Sebenarnya siapa sosok yang harus ditemui oleh Jaka Tingkir? Mengapa Panmembahan Ismaya menyuruh Jaka Tingkir untuk berguru kepada orang ini? Seseorang yang sakti mandra gunakah? Tentu pertanyaan ini akan terjawab bilamana Jaka Tingkir bisa menemukan tempat bernama Muara Tujuh itu.
            Dalam perjalanannya Jaka Tingkir tentunya banyak pengalaman dijumpai. Manakala Jaka Tingkir beristirahat disuatu tempat (baca:kampung) konon katanya menjadi cikal-bakal nama tempat itu. Contohnya Kampung Kaceot dan Reundeuk Daweung yang berada di Desa Kalangsari Kecamatan Rengasdengklok.
Dari berbagai informasi yang didapat akhirnya Jaka Tingkir sampai di tempat tujuan yakni Muara Tujuh. Sebuah perkampungan kecil yang sekelilingnya dipenuhi oleh rawa-rawa yang luas. Dikatakan Muara Tujuh karena disitu tempat bertemunya tujuh aliran sungai. Pada saat itu orang-orang di Kampung Muara Tujuh jumlahnya masih sedikit. Namun disana Jaka Tingkir tidak langsung dapat menemukan seorang guru yang dimaksud oleh Panembahan Ismaya karena tidak ada satupun orang yang mengenalnya. Jaka Tingkir tidak mau pulang ke Demak dengan tangan hampa. Apalagi sudah melakukan perjalanan sampai sejauh ini. Jaka Tingkirpun merasa betapa susahnya mencari seorang guru yang dimaksud oleh Panembahan Ismaya itu. Sehingga membuat rasa penasaran yang tinggi dalam pikiran Jaka Tingkir. Ditengah kebingungannya Jaka Tingkir memutuskan untuk singgah beberapa waktu terlebih dahulu di Muara Tujuh sambil terus memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Ternyata pada waktu itu ajaran islam ditempat ini sudah masuk. Penyebarnya tak lain adalah seorang pengembara juga bernama Ki Cepret. Sebelum Jaka Tingkir datang Ki Cepret lebih dulu bermukim di Muara Tujuh bergabung dengan masyarakat sekitar membantu membuka lahan yang nantinya akan menjadi suatu perkampungan dan pesawahan. Setelah berbaur dengan penduduk setempat, Jaka Tingkir terus menerus memperhatikan orang-orang disekitarnya. Sehingga dapat diketahui sifat dan watak para penduduk di Muara Tujuh. Maka terbukalah pikiran Jaka Tingkir bahwa orang yang bernama Ki Cepret bukanlah orang sembarangan walaupun kelihatannya bersahaja. Dari segi penampilan memang tak ada bedanya dengan rakyat biasa. Namun perilaku, sifat dan tutur katanya mencerminkan beliau seorang yang besar. Kharisma dan wibawa dari seorang Ki Cepret sangat kentara sekali. Tak ayal membuat Jaka Tingkir ingin mengetahui lebih jauh siapa Ki Cepret itu.

MENEMUKAN YANG MENYAMAR
            Jaka Tingkir mencoba memberanikan diri menemui Ki Cepret. Lalu Ki Cepret bertanya kepada Jaka Tingkir apa tujuannya datang ke Muara Tujuh ini. Jaka Tingkir  memberitahu Ki Cepret bahwa dia berasal dari Demak dan pergi ke Cirebon untuk mencari seorang guru atas petunjuk Panembahan Ismaya. Namun sesampainya di Cirebon, guru yang dicari ternyata tidak ada. Menurut informasi kalau beliau tengah berada di Padjadjaran tepatnya di Muara Tujuh. Karna itulah Jaka Tingkir melakukan perjalanan kesini. Sampai di Muara Tujuhpun Jaka Tingkir kebingungan mencari orang dimaksud. Tapi adanya sosok Ki Cepret begitu menarik perhatiannya.
            Dalam hati Ki Cepret menaruh rasa salut yang tinggi kepada anak muda ini. Begitu beraninya melakukan perjalanan dari Demak ke Muara Tujuh untuk memenuhi amanat gurunya. Ditengah perjalanan mungkin saja bertemu perampok atau binatang buas. Kalau bukan seorang yang mempunyai ilmu bela diri yang mumpuni hampir mustahil anak muda ini bisa sampai kesini. Maka Ki Cepretpun memberi tahu Jaka Tingkir bahwa beliau berasal dari Cirebon dan mengembara ke Muara Tujuh. Mendengar pernyataan itu sontak saja membuat kaget Jaka Tingkir. Timbul keyakinan dalam hati Jaka Tingkir bahwa Ki Cepretlah yang selama ini dia cari. Apalagi ciri-cirinya sama dengan petunjuk yang diberikan Panembahan Ismaya. Jaka Tingkir langsung saja memberi sujud hormat kepada Ki Cepret seraya memohon agar beliau berkenan mengangkatnya sebagai murid.
            Diketahui kalau Ki Cepret selain pendakwah agama islam sehari-harinya juga sebagai penggembala kerbau. Dan nama Ki Cepret bukanlah nama sebenarnya. Dimana nama Ki Cepret sebagai landihan (julukan) bagi orang suka mengibas-ngibaskan cambuk sehingga terdengar bunyi “cepret..cepret” ketika sedang menggembala beberapa ekor kerbau miliknya. Lalu siapa sebenarnya Ki Cepret itu? Apa tujuan Ki Cepret datang ke Muara Tujuh? Mengapa beliau harus menyembunyikan identitas dirinya?

TERUNGKAPNYA JATI DIRI KI CEPRET
            Akhirnya Jaka Tingkir menemukan orang yang dicarinya. Dan Ki Cepretpun bersedia mengangkat Jaka Tingkir sebagai muridnya. Asal dengan syarat jangan memberitahu penduduk Muara Tujuh tentang siapa beliau sebenarnya. Berdasarkan penuturan para Pinisepuh, bahwa orang yang bernama Ki Cepret itu adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Ya, Walangsungsang putra pertama dari Raja Padjadjaran Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dengan istrinya yang pertama bernama Subanglarang. Prabu Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana adalah pendiri Kesultanan Cirebon sekaligus sebagai raja pertama.
            Di Muara Tujuh Pangeran Cakrabuana tidak sendiri. Beliau ditemani istrinya yaitu Nyi Endang Geulis. Sama seperti suaminya, Nyi Endang Geulispun menyembunyikan identitas dirinya yang sebenarnya. Orang-orang pada masa itu menyebut Nyi Endang Geulis dengan nama Nini Balong. Meskipun sudah tua tapi garis-garis kecantikannya masih terlihat. Seolah menunjukan bahwa tatkala mudanya Nyi Endang Geulis mempunyai wajah yang cantik jelita.
            Prabu Walangsungsang dan istrinya datang ke Muara Tujuh tidak sekedar untuk berdakwah menyebarkan agama islam saja, melainkan ada tujuan khusus. Yaitu untuk mengawasi pergerakan Portugis. Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang tiba di nusantara pada awal abad ke-16. Selain ingin mendominasi sumber rempah-rempah berharga, Bangsa Portugis juga ingin menyebarkan agama Katolik Roma. Nah, inilah yang menjadi perhatian Ki Cepret. Sebagai penyebar agama islam tentu tidak ingin rakyat Padjadjaran memeluk agama selain islam. Apalagi memeluk agama yang dibawa oleh orang asing.

BERGURU BERBAGAI ILMU
            Memang tak salah Panembahan Ismaya menyuruh Jaka Tingkir untuk mencari guru hingga sampai ke tanah Padjadjaran. Yang ternyata merupakan sosok yang adiluhung. Mantan Raja Cirebon sekaligus pendiri Kesultanan Cirebon itu sendiri bernama Prabu Walangsungsang. Tentu akan banyak ilmu yang bisa dipelajari Jaka Tingkir dari Ki Cepret.
            Dalam menurunkan dan mengajarkan segala bidang ilmunya, Jaka Tingkir ditempatkan secara terpisah oleh Ki Cepret cukup jauh dari pemukiman masyarakat sekitar. Disebuah tanah lapang yang letaknya berada ditengah-tengah rawa di Muara Tujuh. Tujuannya agar tidak terganggu dengan keadaan penduduk sekitar dan lebih khusu dalam mempelajari ilmu dari Ki Cepret.
            Ilmu kenegaraan (politik) juga tak luput Ki Cepret ajarkan kepada Jaka Tingkir. Karena Ki Cepret menangkap firasat bahwa Jaka Tingkir bisa menjadi pemimpin (raja) dimasa depan. Seperti yang sudah diketahui kalau Ki Cepret adalah nama samaran dari Prabu Walangsungsang yang merupakan seorang raja. Tentu apa yang diajarkan bisa menjadi bekal yang berharga untuk Jaka Tingkir kelak.
            Ilmu kanuragan dan ilmu politik saja tidak cukup untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang agung tanpa adanya pondasi agama yang kuat. Karna itu Jaka Tingkir memperdalam agama islam pada Ki Cepret. Jaka Tingkir bukannya tak mengenal islam sebelumnya. Hanya saja pemahamannya tentang islam masih harus banyak ditingkatkan. Dan berkat bimbingan Ki Cepretlah Jaka Tingkir belajar tentang hakekat islam dan menjadi muslim yang lebih taat dan religius.
            Untuk mengawasi bilamana ada orang dari luar yang ingin menemui Jaka Tingkir, disuruhlah beberapa orang untuk berjaga di tepi Kampung Muara Tujuh sebelah timur agar tidak begitu saja bisa masuk untuk menemui Jaka Tingkir. Karena bisa saja orang yang mencari keberadaan Jaka Tingkir adalah musuhnya.
            Selama tinggal di Muara Tujuh, Jaka Tingkir ditemani oleh seorang bernama Ki Buntet. Tugas Ki Buntet adalah untuk memenuhi segala keperluan Jaka Tingkir. Bisa dibilang kalau Ki Buntet merupakan pembantunya Jaka Tingkir. Minimnya informasi tentang siapa sebenarnya sosok bernama Ki Buntet ini dan dari mana asalnya. Tak jelas apakah Ki Buntet merupakan penduduk Muara Tujuh ataukah teman seperjalanan pengembaraan Jaka Tingkir. Nama asli Ki Buntetpun tidak diketahui secara pasti. Menurut para Pinisepuh Kampung Rawagede bahwa orang yang bernama Ki Buntet itu memiliki perawakan pendek dan tambun, karna itulah disebut Ki Buntet.
            Tatkala Jaka Tingkir dan Ki Cepret telah menyelesaikan segala urusannya di Muara Tujuh, merekapun meninggalkan Muara Tujuh untuk kembali ke tempat asalnya masing-masing. Tapi tidak dengan Ki Buntet, beliau tetap tinggal hingga wafat dan dikebumikan di Muara Tujuh.

PENUTUP KISAH
Sampai disini saja kisah tentang Asal-Usul Kramat Jaka Tingkir - Rawagede. Sepenggal kisah singkat dalam menggambarkan langkah perjalanan seorang ksatria yang penuh perjuangan dan tantangan dalam menghadapi hidup. Sungguh masyhur namanya dan melegenda. Dari nama panggilan Mas Karebet, lalu dijuluki Jaka Tingkir sampai mendapat gelar Sultan Hadiwijaya.
Tempat dimana Jaka Tingkir bermukim untuk menimba ilmu pada Ki Cepret inilah yang sekarang menjadi tempat pemakaman umum di Kampung Rawagede. Dan masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama Kramat Jaka Tingkir. Didalamnya terdapat sebuah petilasan sebagai tanda bahwa dahulu kala seorang tokoh digdaya dari tanah Jawa yang merupakan keturunan bangsawan Majapahit bernama Jaka Tingkir pernah tinggal di Rawagede.

Didalam Ruangan Yang Berisi Makom Jaka Tingkir
Makom Jaka Tingkir

Ki Buntetlah yang berjasa membangun petilasan ini. Merawat dan menjaga bekas tempat tinggal tuannya di Muara Tujuh. Sebelum wafatnya Ki Buntet berpesan kepada penduduk agar selalu merawat dan menjaga warisannya ini. Memang status Ki Buntet bisa dibilang sebagai assisten Jaka Tingkir, akan tetapi hubungan diantara keduanya lebih dari itu. Baik Jaka Tingkir maupun Ki Buntet sama-sama saling menaruh rasa hormat yang tinggi pada diri mereka masing-masing. Konon Ki Buntetpun sebenarnya memiliki berbagai ilmu kesaktian juga.
Disini pula terdapat makam Ki Buntet yang letaknya bersebalahan dengan petilasan Jaka Tingkir. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Ki Buntet, para penduduk Muara Tujuh selalu merawat makam Ki Buntet hingga lestari sampai sekarang. Karena ini makam (kuburan) asli, ada juga orang yang berdo’a (baca: ziarah) ke makam Ki Buntet. Jadi di Kramat Jaka Tingkir ini tak hanya petilasan Jaka Tingkir saja yang menjadi tempat tujuan orang-orang berziarah, tapi makam Ki Buntet juga. Seperti tempat-tempat kramat lain, tujuan orang berziarah ke Kramat Jaka tingkirpun agar hajat dan keinginan dari para peziarah bisa tercapai. Yah, bagi mereka yang percaya tentunya.

Makam Ki Buntet Yang Juga Sering Di Ziarahi
Ada sebuah wejangan dari Ki Cepret dan menjadi kebiasaan (tradisi) orang-orang tua dahulu untuk melakukan kajian setiap setahun sekali pada pertengahan bulan maulid. Tradisi ini bernama Babalung. Dilakukan semalam suntuk atau istilahnya ngabungbang dan tidak ada patokan kapan selesainya. Tujuan dari Babalung ini sebagai ajang bertukar pikiran para Pinisepuh dalam mengkaji wejangan-wejangan Ki Cepret agar senantiasa hidup dijalan kebajikan. Berikut beberapa wejangan-wejangan Ki Cepret atau orang-orang tua dahulu menyebutnya dengan Astra Dharma yang artinya delapan jalan kebaikan:
  • Tiada manusia dapat menjadi pribadi kecuali diwujudkan melalui raganya diisi jiwa yang suci.
  • Orang yang berilmu ialah yang pandai menangkap sasmita (segala isyarat dari alam).
  • lmu yang sejati terletak pada kekuatan dalam diri (cipta pribadi).
  • Tidak akan menemukan guru sejati sebelum manusia memiliki kesadaran sejati.
  • Bumi (negara) ini bukan milik Sri Nata (pemerintah) melainkan kepunyaan sesama.
  • Jangan bermimpi rakyat hidup makmur dan sejahtera bila tidak diberikan kesempatan mendapat perhatian yang sama.
  • Jangan ingin melihat rupa Tuhan, malaikat saja kamu belum pernah melihatnya. Yang terpenting harus bisa mengenal diri sendiri.
  • Manusia yang mampu memahami hidup, wujud dari penyucian jiwa adalah ikhlas dalam berbuat kebaikan.

Sayang tradisi Babalung sudah tak ada lagi yang melakukannya di zaman sekarang. Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia tepatnya. Sebenarnya tradisi ini masih ada hanya saja sudah berubah maknanya. Dimasa sekarang berganti dengan acara hiburan seni wayang golek dan wisata mistik benda-benda pusaka bagi para peziarah yang ingin mengalap berkah. Bahkan masyarakat Rawagede sendiri banyak yang tidak tahu apa itu Babalung. Tradisi ini sekarang lebih dikenal dengan nama Muludan. Ya, karna digelar pada bulan Maulid (Mulud:Sunda) sehingga orang-orang menyebutnya Muludan.
Entah sejak kapan Petilasan Eyang Jaka Tingkir ini dikeramatkan oleh penduduk Muara Tujuh dan menjadi tempat ziarah bagi banyak orang. Hingga tulisan ini dibuat jumlah orang yang tercatat pernah menjadi Kuncen (juru kunci makam) ada 17 orang. Berikut nama-nama Juru Kunci Makom Eyang Jaka Tingkir dari masa ke masa:
1.      Ki Raksa Naga
2.      Ki Mantek Naga
3.      Ki Dipa Naga
4.      Ki Manggu Raga
5.      Ki Rilah
6.      Ki Entet
7.      Ki Nisem
8.      Ki Erum
9.      Ki Naiyan
10.  Ki Madis
11.  Ki Bajo
12.  Ki Cebong
13.  Ki Kacim
14.  Ki Resih
15.  Bah Rusta
16.  Bah Bewok
17.  Bah Karnadi - sekarang
Menurut Bah Karnadi selaku juru kunci saat ini, sebenarnya jumlah orang yang pernah menjadi juru kunci makam lebih dari 17. Hanya saja nama-namanya luput dari pencatatan dan terlupakan. Ada sebuah Rajah yang diwariskan turun temurun oleh para kuncen. Fungsi dari rajah ini adalah sebagai ucapan pengantar niat ziarah ke Kramat Petilasan Eyang Jaka Tingkir. Menggunakan Bahasa Sunda pada umumnya, berikut ini isi penggalan rajahnya:

SAMPURASUN

Pun ampun neda paralun, ka Gusti nu Maha Agung, Pangeran raga salira, Sang Widi bathin nu sidik, anu ngawasa bumi langit.

Digeuing ku pangajak bathin, digugah ku pangrasa sukma, naratas ka alam gaib, sumujud ka anu Maha Suci, sumerah ka anu Maha Luhung.

Neda pangjurung ti sadayana, ngadeuheus ka patilasan Eyang Jaka Tingkir, kakasih ti para wali, sabab kaula boga maksud, pikeun tanda tumarima.

Luluhur mangka ngariung, karuhun pada daratang, nyakseni maksud kaula, dangeut ieu seja jiarah, nyumponan rasa simpati.

Kaula kabeli pada weruh, jagat bumi mawa hasil, pibekeleun hirup-hurip, rumingkang di pawenangan, luminjing di alam lahir.

Bisina gunung kalarung, pasir lamping teu katolih, lebak jungkerang teu ka teang, walungan ka luli-luli, sawah jeung huma teu kariksa.

Punah ku rajah pamunah, punah di opat mathahab, punah kalima pancer, muga dijaga diraksa, ku Pangeran anu Murbeng Alam.

Disuhunken wedi asih, pangbakti mugi katampi, ti kaula jeung ruhayat, ngado’a neda berekah, rahayu sajatining hirup-hurip.

Mugi Gusti nybadanan sapaneja.

            Petilasan Jaka Tingkir ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Kampung Rawagede. Kita harus berterima kasih kepada mereka yang sudah melestarikan warisan sejarah ini hingga kita bisa melihatnya sampai sekarang. Semoga tulisan ini bisa menjadi wawasan bagi kita semua. Mari bersama-sama kita do’akan Eyang Jaka Tingkir agar dapat diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa, serta diampuni dari segala khilaf dan dosa-dosanya. Aamiin

Narasumber:
  1. Wakhyudin
  2. Bah Karnadi

Referensi:
  1. https://sejarahcirebon.wordpress.com/2014/02/06/lahirnya-pangeran-walangsungsang/
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Cirebon
  3. https://id.wikipedia.org/wiki/Joko_Tingkir
  4. https://putraramasejati.wordpress.com/jaka-tingkir-2/
  5. http://pensa-sb.info/perjanjian-portugis-pajajaran-1522/

CATATAN PENULIS
            Ini hanya sebuah spekulasi dari penulis. Mencoba menghubungkan sejarah yang ada dengan cerita diatas. Berikut ini beberapa spekulasi yang sudah penulis rangkum:

1.   Pada tahun 1522 M, Raja Padjadjaran Prabu Surawisesa melakukan perjanjian dengan Portugis. Dari cerita diatas, Walangsungsang (1423 – 1529 M) pergi ke Muara Tujuh untuk memata-matai Portugis. Jika kisah ini terjadi berdasar latar tersebut, maka pada saat itu Walangsungsang berusia 101 tahun dan Jaka Tingkir (1499 – 1582 M) berusia 23 tahun.
2.      Pada masa sekarang Rawagede terbagi menjadi empat desa yaitu Purwamekar, Mekarjaya, Sekarwangi, serta Balongsari tempat dimana lokasi Kramat Jaka Tingkir berada. Tentu para tokoh masyarakat tidak sembarangan asal menamai sebuah desa. Biasanya terdapat sisi historis ataupun simbol/ciri yang mendeskripsikan keadaan suatu wilayah yang bersangkutan. Penamaan Desa Balongsari terinspirasi dari Nini Balong kah? Mungkin saja!
3.      Sempat penulis berpikir kenapa bukan petilasan Walangsungsang yang dididirikan. Bukan bermaksud mengecilkan seorang Jaka Tingkir, namun merujuk status Walangsungsang sebagai mantan Raja Cirebon serta gurunya Jaka Tingkir pada waktu itu. Tentu karomahnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Mungkin ini ada kaitannya dengan penyamaran yang dilakukan Walangsungsang. Sehingga Ki Buntet tetap merahasiakan jati diri Ki Cepret yang sebenarnya meskipun sudah meninggalkan Muara Tujuh.

Wallahu a’lam bishawabi
Wassalam.