![]() |
Gapura Sebagai Pintu Masuk Ke Kawasan Petilasan Jaka Tingkir |
![]() |
Belandongan Dan Bangunan Tempat Makom Jaka Tingkir Berada |
Apa yang ada dipikiran anda ketika
mendengar nama Rawagede? Pasti pikiran anda akan tertuju pada monumen. Ya,
Rawagede terkenal dengan monumennya. Agresi militer Belanda kedua pada tahun
1947 banyak menewaskan rakyat sipil Rawagede yang tidak bersalah. Maka
dibangunlah sebuah monumen untuk mengenang dan memperingati peristiwa
pelanggaran HAM tersebut. Hampir seluruh masyarakat Karawang tahu tentang
Monumen Rawagede.
Eits...
tunggu dulu. Saya tidak akan membahas Monumen Rawagede. Yang akan saya bahas
adalah sebuah tempat pemakaman umum yang terletak tidak jauh dari Monumen
Rawagede. Kurang lebih 30 meter ke arah wetan
(timur) dari monumen maka akan terlihat sebuah plank papan yang bertuliskan ‘SELAMAT DATANG DIMAKOM JAKA TINGKIR RAWAGEDE’.
![]() |
Plank Petunjuk Bagi Para Peziarah |
Bagi
masyarakat Rawagede pemakaman ini bukanlah pemakaman biasa pada umumnya.
Pemakaman ini sangat disakaralkan oleh masayarakat Rawagede karena didalamnya
terdapat sebuah petilasan yang dipercaya
sebagai petilasan Jaka Tingkir. Ya, Raden Jaka Tingkir alias Mas Karebet seorang tokoh
dari tanah Demak yang sakti mandra guna. Konon pada zaman dahulu Jaka tingkir
melakukan perjalanan ke Padjadjaran (sekarang Jawa Barat-red) dan singgah disuatu
perkampungan kecil yang dipenuhi oleh rawa-rawa yang luas disekelilingnya.
Bagaimana asal mula Jaka Tingkir bisa melakukan
perjalanan ke Padjadjaran? Lalu apa tujuan Jaka Tingkir datang ke Rawagede? Cerita
legenda asal-usul Keramat Jaka
Tingkir ini telah dituturkan turun temurun oleh para Pinisepuh (orang-orang terdahulu) di
Kampung Rawagede.
SEJARAH
SINGKAT JAKA TINGKIR
Jaka Tingkir lahir dari ayah yang
bernama Ki Kebo Kenanga/Ki Ageng Pengging dan ibunya Nyi Ageng Pengging. Ketika
ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang
Ki Ageng Tingkir. Setelah wafat ayahnya yaitu Ki Ageng Pengging, Mas Karebet
tinggal di Desa Tingkir bersama Nyi Ageng Tingkir sebagai orang tua angkatnya.
Dari sinilah sebutan Jaka Tingkir disematkan kepada Mas Karebet yang artinya
adalah pemuda dari Desa Tingkir.
Jaka Tingkir yang masih keturunan bangsawan Majapahit tumbuh
menjadi anak yang nakal. Senang mengembara ke gunung-gunung, ke bukit-bukit,
keluar masuk hutan, mendatangi tempat-tempat wingit dan angker atau pun menyepi
di goa-goa. Di setiap tempat yang dikunjunginya Jaka Tingkir selalu
menyempatkan diri untuk menimba ilmu kesaktian kanuragan maupun kesaktian gaib.
Selain sering menyepi dan bertapa di goa-goa dan melatih sendiri keilmuannya,
Jaka Tingkir juga sering mendatangi panembahan-panembahan dan begawan untuk
belajar agama dan memperdalam keilmuannya. Semakin bertambah usianya semakin
bertambah ilmunya, sehingga ia memiliki kesaktian yang sulit sekali dicari
tandingannya di antara anak-anak lain seusianya.
Jaka Tingkir banyak menimba ilmu dari beberapa guru
sakti di Demak. Salah satu yang menjadi gurunya adalah Panembahan Ismaya,
seorang ahli ilmu kebhatinan. Banyak sudah yang Jaka Tingkir pelajari dari
gurunya Panembahan Ismaya. Namun Panembahan Ismaya merasa apa yang telah
diturunkan kepada Jaka Tingkir masihlah belum cukup untuk bekal Jaka Tingkir
dimasa depan kelak. Maka diperintahkanlah Jaka Tingkir untuk pergi ke Cirebon
guna menemui seseorang untuk berguru kepadanya.
MELAKUKAN
PENGEMBARAAN
Sesuai dengan saran dan petunjuk
gurunya, Jaka Tingkir melakukan perjalanan ke Cirebon. Menyusuri luasnya hutan
belantara yang gelap dan belum terjamah oleh siapapun. Bagi seorang Jaka
Tingkir berada ditengah hutan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari. Berada
dihutan yang wingit untuk memperdalam ilmu memang kegemarannya sejak kecil. Tak
ada rasa takut sama sekali. Justru Jaka Tingkir amat antusias sekali melakukan
perjalanan ini.
Sesampainya di Cirebon ternyata orang yang dicari
tidak ada. Menurut informasi yang didapat bahwa orang itu tengah berada disuatu
tempat di wilayah Padjadjaran. Tepatnya berada di Muara Tujuh. Tempat yang
pastinya sangat asing bagi Jaka Tingkir. Kembali ke Demakpun rasanya tidak
mungkin karena itu berarti melanggar perintah Panembahan. Dan itu bertentangan
dengan sifat ksatria yang memang sudah tertanam dalam diri Jaka Tingkir. Apapun
yang terjadi Jaka Tingkir harus bisa bertemu dengan orang yang dimaksud
Panembahan Ismaya dan melaksanakan amanatnya. Maka dari itu Jaka Tingkir
memutuskan meneruskan perjalanannya untuk menemukan tempat yang bernama Muara
Tujuh itu. Dari sinilah pengembaraan menuju Muara Tujuhpun dimulai.
Sebenarnya siapa sosok yang harus ditemui oleh Jaka
Tingkir? Mengapa Panmembahan Ismaya menyuruh Jaka Tingkir untuk berguru kepada
orang ini? Seseorang yang sakti mandra gunakah? Tentu pertanyaan ini akan
terjawab bilamana Jaka Tingkir bisa menemukan tempat bernama Muara Tujuh itu.
Dalam perjalanannya Jaka Tingkir
tentunya banyak pengalaman dijumpai. Manakala Jaka Tingkir beristirahat disuatu
tempat (baca:kampung) konon katanya menjadi cikal-bakal nama tempat itu.
Contohnya Kampung Kaceot dan Reundeuk Daweung yang berada di Desa Kalangsari
Kecamatan Rengasdengklok.
Dari berbagai informasi yang didapat akhirnya Jaka
Tingkir sampai di tempat tujuan yakni Muara Tujuh. Sebuah perkampungan kecil
yang sekelilingnya dipenuhi oleh rawa-rawa yang luas. Dikatakan Muara Tujuh
karena disitu tempat bertemunya tujuh aliran sungai. Pada saat itu orang-orang
di Kampung Muara Tujuh jumlahnya masih sedikit. Namun disana Jaka Tingkir tidak
langsung dapat menemukan seorang guru yang dimaksud oleh Panembahan Ismaya
karena tidak ada satupun orang yang mengenalnya. Jaka Tingkir tidak mau pulang ke Demak dengan tangan hampa. Apalagi
sudah melakukan perjalanan sampai sejauh ini. Jaka Tingkirpun merasa betapa susahnya
mencari seorang guru yang dimaksud oleh Panembahan Ismaya itu. Sehingga membuat
rasa penasaran yang tinggi dalam pikiran Jaka Tingkir. Ditengah kebingungannya
Jaka Tingkir memutuskan untuk singgah beberapa waktu terlebih dahulu di Muara
Tujuh sambil terus memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Ternyata pada waktu itu ajaran islam ditempat ini
sudah masuk. Penyebarnya tak lain adalah seorang pengembara juga bernama Ki
Cepret. Sebelum Jaka Tingkir datang Ki Cepret lebih dulu bermukim di Muara
Tujuh bergabung dengan masyarakat sekitar membantu membuka lahan yang nantinya
akan menjadi suatu perkampungan dan pesawahan. Setelah berbaur dengan penduduk
setempat, Jaka Tingkir terus menerus memperhatikan orang-orang disekitarnya.
Sehingga dapat diketahui sifat dan watak para penduduk di Muara Tujuh. Maka terbukalah
pikiran Jaka Tingkir bahwa orang yang bernama Ki Cepret bukanlah orang
sembarangan walaupun kelihatannya bersahaja. Dari segi penampilan memang tak
ada bedanya dengan rakyat biasa. Namun perilaku, sifat dan tutur katanya
mencerminkan beliau seorang yang besar. Kharisma dan wibawa dari seorang Ki
Cepret sangat kentara sekali. Tak ayal membuat Jaka Tingkir ingin mengetahui
lebih jauh siapa Ki Cepret itu.
MENEMUKAN
YANG MENYAMAR
Jaka Tingkir mencoba memberanikan
diri menemui Ki Cepret. Lalu Ki Cepret bertanya kepada Jaka Tingkir apa
tujuannya datang ke Muara Tujuh ini. Jaka Tingkir memberitahu Ki Cepret bahwa dia berasal dari
Demak dan pergi ke Cirebon untuk mencari seorang guru atas petunjuk Panembahan
Ismaya. Namun sesampainya di Cirebon, guru yang dicari ternyata tidak ada.
Menurut informasi kalau beliau tengah berada di Padjadjaran tepatnya di Muara
Tujuh. Karna itulah Jaka Tingkir melakukan perjalanan kesini. Sampai di Muara
Tujuhpun Jaka Tingkir kebingungan mencari orang dimaksud. Tapi adanya sosok Ki
Cepret begitu menarik perhatiannya.
Dalam hati Ki Cepret menaruh rasa
salut yang tinggi kepada anak muda ini. Begitu beraninya melakukan perjalanan
dari Demak ke Muara Tujuh untuk memenuhi amanat gurunya. Ditengah perjalanan
mungkin saja bertemu perampok atau binatang buas. Kalau bukan seorang yang mempunyai
ilmu bela diri yang mumpuni hampir mustahil anak muda ini bisa sampai kesini. Maka
Ki Cepretpun memberi tahu Jaka Tingkir bahwa beliau berasal dari Cirebon dan
mengembara ke Muara Tujuh. Mendengar pernyataan itu sontak saja membuat kaget
Jaka Tingkir. Timbul keyakinan dalam hati Jaka Tingkir bahwa Ki Cepretlah yang
selama ini dia cari. Apalagi ciri-cirinya sama dengan petunjuk yang diberikan
Panembahan Ismaya. Jaka Tingkir langsung saja memberi sujud hormat kepada Ki
Cepret seraya memohon agar beliau berkenan mengangkatnya sebagai murid.
Diketahui kalau Ki Cepret selain
pendakwah agama islam sehari-harinya juga sebagai penggembala kerbau. Dan nama
Ki Cepret bukanlah nama sebenarnya. Dimana nama Ki Cepret sebagai landihan
(julukan) bagi orang suka mengibas-ngibaskan cambuk sehingga terdengar bunyi “cepret..cepret” ketika sedang
menggembala beberapa ekor kerbau miliknya. Lalu siapa sebenarnya Ki Cepret itu?
Apa tujuan Ki Cepret datang ke Muara Tujuh? Mengapa beliau harus menyembunyikan
identitas dirinya?
TERUNGKAPNYA
JATI DIRI KI CEPRET
Akhirnya Jaka Tingkir menemukan orang
yang dicarinya. Dan Ki Cepretpun bersedia mengangkat Jaka Tingkir sebagai
muridnya. Asal dengan syarat jangan memberitahu penduduk Muara Tujuh tentang
siapa beliau sebenarnya. Berdasarkan penuturan para Pinisepuh, bahwa orang yang
bernama Ki Cepret itu adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Ya,
Walangsungsang putra pertama dari Raja Padjadjaran Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dengan istrinya yang pertama bernama Subanglarang. Prabu
Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana adalah pendiri Kesultanan Cirebon sekaligus
sebagai raja pertama.
Di Muara Tujuh Pangeran Cakrabuana
tidak sendiri. Beliau ditemani istrinya yaitu Nyi Endang Geulis. Sama seperti
suaminya, Nyi Endang Geulispun menyembunyikan identitas dirinya yang
sebenarnya. Orang-orang pada masa itu menyebut Nyi Endang Geulis dengan nama
Nini Balong. Meskipun sudah tua tapi garis-garis kecantikannya masih terlihat.
Seolah menunjukan bahwa tatkala mudanya Nyi Endang Geulis mempunyai wajah yang cantik
jelita.
Prabu Walangsungsang dan istrinya
datang ke Muara Tujuh tidak sekedar untuk berdakwah menyebarkan agama islam
saja, melainkan ada tujuan khusus. Yaitu untuk mengawasi pergerakan Portugis. Bangsa
Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang tiba di nusantara pada awal abad
ke-16. Selain ingin mendominasi sumber rempah-rempah berharga, Bangsa Portugis
juga ingin menyebarkan agama Katolik Roma. Nah, inilah yang menjadi perhatian
Ki Cepret. Sebagai penyebar agama islam tentu tidak ingin rakyat Padjadjaran memeluk
agama selain islam. Apalagi memeluk agama yang dibawa oleh orang asing.
BERGURU
BERBAGAI ILMU
Memang tak salah Panembahan Ismaya
menyuruh Jaka Tingkir untuk mencari guru hingga sampai ke tanah Padjadjaran.
Yang ternyata merupakan sosok yang adiluhung.
Mantan Raja Cirebon sekaligus pendiri Kesultanan Cirebon itu sendiri bernama
Prabu Walangsungsang. Tentu akan banyak ilmu yang bisa dipelajari Jaka Tingkir
dari Ki Cepret.
Dalam menurunkan dan mengajarkan
segala bidang ilmunya, Jaka Tingkir ditempatkan secara terpisah oleh Ki Cepret
cukup jauh dari pemukiman masyarakat sekitar. Disebuah tanah lapang yang
letaknya berada ditengah-tengah rawa di Muara Tujuh. Tujuannya agar tidak
terganggu dengan keadaan penduduk sekitar dan lebih khusu dalam mempelajari ilmu dari Ki Cepret.
Ilmu kenegaraan (politik) juga tak
luput Ki Cepret ajarkan kepada Jaka Tingkir. Karena Ki Cepret menangkap firasat
bahwa Jaka Tingkir bisa menjadi pemimpin (raja) dimasa depan. Seperti yang
sudah diketahui kalau Ki Cepret adalah nama samaran dari Prabu Walangsungsang yang
merupakan seorang raja. Tentu apa yang diajarkan bisa menjadi bekal yang
berharga untuk Jaka Tingkir kelak.
Ilmu kanuragan dan ilmu politik saja
tidak cukup untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang agung tanpa adanya pondasi
agama yang kuat. Karna itu Jaka Tingkir memperdalam agama islam pada Ki Cepret.
Jaka Tingkir bukannya tak mengenal islam sebelumnya. Hanya saja pemahamannya
tentang islam masih harus banyak ditingkatkan. Dan berkat bimbingan Ki
Cepretlah Jaka Tingkir belajar tentang hakekat islam dan menjadi muslim yang lebih
taat dan religius.
Untuk mengawasi bilamana ada orang
dari luar yang ingin menemui Jaka Tingkir, disuruhlah beberapa orang untuk
berjaga di tepi Kampung Muara Tujuh sebelah timur agar tidak begitu saja bisa
masuk untuk menemui Jaka Tingkir. Karena bisa saja orang yang mencari keberadaan
Jaka Tingkir adalah musuhnya.
Selama tinggal di Muara Tujuh, Jaka
Tingkir ditemani oleh seorang bernama Ki Buntet. Tugas Ki Buntet adalah untuk
memenuhi segala keperluan Jaka Tingkir. Bisa dibilang kalau Ki Buntet merupakan
pembantunya Jaka Tingkir. Minimnya informasi tentang siapa sebenarnya sosok
bernama Ki Buntet ini dan dari mana asalnya. Tak jelas apakah Ki Buntet
merupakan penduduk Muara Tujuh ataukah teman seperjalanan pengembaraan Jaka
Tingkir. Nama asli Ki Buntetpun tidak diketahui secara pasti. Menurut para Pinisepuh Kampung Rawagede bahwa orang
yang bernama Ki Buntet itu memiliki perawakan pendek dan tambun, karna itulah
disebut Ki Buntet.
Tatkala Jaka Tingkir dan Ki Cepret
telah menyelesaikan segala urusannya di Muara Tujuh, merekapun meninggalkan
Muara Tujuh untuk kembali ke tempat asalnya masing-masing. Tapi tidak dengan Ki
Buntet, beliau tetap tinggal hingga wafat dan dikebumikan di Muara Tujuh.
PENUTUP
KISAH
Sampai disini saja kisah tentang Asal-Usul Kramat Jaka
Tingkir - Rawagede. Sepenggal kisah singkat dalam menggambarkan langkah
perjalanan seorang ksatria yang penuh perjuangan dan tantangan dalam menghadapi
hidup. Sungguh masyhur namanya dan melegenda. Dari nama panggilan Mas Karebet,
lalu dijuluki Jaka Tingkir sampai mendapat gelar Sultan Hadiwijaya.
Tempat dimana Jaka Tingkir bermukim untuk menimba ilmu
pada Ki Cepret inilah yang sekarang menjadi tempat pemakaman umum di Kampung
Rawagede. Dan masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama Kramat Jaka Tingkir. Didalamnya
terdapat sebuah petilasan sebagai tanda bahwa dahulu kala seorang tokoh digdaya
dari tanah Jawa yang merupakan keturunan bangsawan Majapahit bernama Jaka
Tingkir pernah tinggal di Rawagede.
![]() |
Didalam Ruangan Yang Berisi Makom Jaka Tingkir |
![]() |
Makom Jaka Tingkir |
Ki Buntetlah yang berjasa membangun petilasan ini.
Merawat dan menjaga bekas tempat tinggal tuannya di Muara Tujuh. Sebelum
wafatnya Ki Buntet berpesan kepada penduduk agar selalu merawat dan menjaga
warisannya ini. Memang status Ki Buntet bisa dibilang sebagai assisten Jaka Tingkir, akan tetapi
hubungan diantara keduanya lebih dari itu. Baik Jaka Tingkir maupun Ki Buntet sama-sama
saling menaruh rasa hormat yang tinggi pada diri mereka masing-masing. Konon Ki
Buntetpun sebenarnya memiliki berbagai ilmu kesaktian juga.
Disini pula terdapat makam Ki Buntet yang letaknya
bersebalahan dengan petilasan Jaka Tingkir. Sebagai bentuk penghormatan atas
jasa-jasa Ki Buntet, para penduduk Muara Tujuh selalu merawat makam Ki Buntet
hingga lestari sampai sekarang. Karena ini makam (kuburan) asli, ada juga orang
yang berdo’a (baca: ziarah) ke makam Ki Buntet. Jadi di Kramat Jaka Tingkir ini
tak hanya petilasan Jaka Tingkir saja yang menjadi tempat tujuan orang-orang
berziarah, tapi makam Ki Buntet juga. Seperti tempat-tempat kramat lain, tujuan
orang berziarah ke Kramat Jaka tingkirpun agar hajat dan keinginan dari para
peziarah bisa tercapai. Yah, bagi mereka yang percaya tentunya.
![]() |
Makam Ki Buntet Yang Juga Sering Di Ziarahi |
Ada sebuah wejangan dari Ki Cepret dan menjadi
kebiasaan (tradisi) orang-orang tua dahulu untuk melakukan kajian setiap
setahun sekali pada pertengahan bulan maulid. Tradisi ini bernama Babalung. Dilakukan
semalam suntuk atau istilahnya ngabungbang
dan tidak ada patokan kapan selesainya. Tujuan dari Babalung ini sebagai ajang
bertukar pikiran para Pinisepuh dalam
mengkaji wejangan-wejangan Ki Cepret agar senantiasa hidup dijalan kebajikan.
Berikut beberapa wejangan-wejangan Ki Cepret atau orang-orang tua dahulu
menyebutnya dengan Astra Dharma yang
artinya delapan jalan kebaikan:
- Tiada manusia dapat menjadi pribadi kecuali diwujudkan melalui raganya diisi jiwa yang suci.
- Orang yang berilmu ialah yang pandai menangkap sasmita (segala isyarat dari alam).
- lmu yang sejati terletak pada kekuatan dalam diri (cipta pribadi).
- Tidak akan menemukan guru sejati sebelum manusia memiliki kesadaran sejati.
- Bumi (negara) ini bukan milik Sri Nata (pemerintah) melainkan kepunyaan sesama.
- Jangan bermimpi rakyat hidup makmur dan sejahtera bila tidak diberikan kesempatan mendapat perhatian yang sama.
- Jangan ingin melihat rupa Tuhan, malaikat saja kamu belum pernah melihatnya. Yang terpenting harus bisa mengenal diri sendiri.
- Manusia yang mampu memahami hidup, wujud dari penyucian jiwa adalah ikhlas dalam berbuat kebaikan.
Sayang tradisi Babalung sudah tak ada lagi yang
melakukannya di zaman sekarang. Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia tepatnya.
Sebenarnya tradisi ini masih ada hanya saja sudah berubah maknanya. Dimasa
sekarang berganti dengan acara hiburan seni wayang golek dan wisata mistik benda-benda
pusaka bagi para peziarah yang ingin mengalap berkah. Bahkan masyarakat
Rawagede sendiri banyak yang tidak tahu apa itu Babalung. Tradisi ini sekarang
lebih dikenal dengan nama Muludan. Ya, karna digelar pada bulan Maulid
(Mulud:Sunda) sehingga orang-orang menyebutnya Muludan.
Entah sejak kapan Petilasan Eyang Jaka Tingkir ini
dikeramatkan oleh penduduk Muara Tujuh dan menjadi tempat ziarah bagi banyak
orang. Hingga tulisan ini dibuat jumlah orang yang tercatat pernah menjadi Kuncen (juru kunci makam) ada 17 orang.
Berikut nama-nama Juru Kunci Makom Eyang Jaka Tingkir dari masa ke masa:
1.
Ki Raksa Naga
2.
Ki Mantek Naga
3.
Ki Dipa Naga
4.
Ki Manggu Raga
5.
Ki Rilah
6.
Ki Entet
7.
Ki Nisem
8.
Ki Erum
9.
Ki Naiyan
10. Ki Madis
11. Ki Bajo
12. Ki Cebong
13. Ki Kacim
14. Ki Resih
15. Bah Rusta
16. Bah Bewok
17. Bah Karnadi - sekarang
Menurut Bah Karnadi selaku juru kunci saat ini,
sebenarnya jumlah orang yang pernah menjadi juru kunci makam lebih dari 17.
Hanya saja nama-namanya luput dari pencatatan dan terlupakan. Ada sebuah Rajah yang diwariskan turun temurun oleh para
kuncen. Fungsi dari rajah ini adalah
sebagai ucapan pengantar niat ziarah ke Kramat Petilasan Eyang Jaka Tingkir.
Menggunakan Bahasa Sunda pada umumnya, berikut ini isi penggalan rajahnya:
SAMPURASUN
Pun ampun neda paralun, ka Gusti nu Maha Agung,
Pangeran raga salira, Sang Widi bathin nu sidik, anu ngawasa bumi langit.
Digeuing ku pangajak bathin, digugah ku pangrasa
sukma, naratas ka alam gaib, sumujud ka anu Maha Suci, sumerah ka anu Maha
Luhung.
Neda pangjurung ti sadayana, ngadeuheus ka patilasan
Eyang Jaka Tingkir, kakasih ti para wali, sabab kaula boga maksud, pikeun tanda
tumarima.
Luluhur mangka ngariung, karuhun pada daratang,
nyakseni maksud kaula, dangeut ieu seja jiarah, nyumponan rasa simpati.
Kaula kabeli pada weruh, jagat bumi mawa hasil,
pibekeleun hirup-hurip, rumingkang di pawenangan, luminjing di alam lahir.
Bisina gunung kalarung, pasir lamping teu katolih,
lebak jungkerang teu ka teang, walungan ka luli-luli, sawah jeung huma teu
kariksa.
Punah ku rajah pamunah, punah di opat mathahab, punah
kalima pancer, muga dijaga diraksa, ku Pangeran anu Murbeng Alam.
Disuhunken wedi asih, pangbakti mugi katampi, ti kaula
jeung ruhayat, ngado’a neda berekah, rahayu sajatining hirup-hurip.
Mugi Gusti nybadanan sapaneja.
Petilasan Jaka Tingkir ini menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Kampung Rawagede. Kita harus berterima
kasih kepada mereka yang sudah melestarikan warisan sejarah ini hingga kita
bisa melihatnya sampai sekarang. Semoga tulisan ini bisa menjadi wawasan bagi
kita semua. Mari bersama-sama kita do’akan Eyang Jaka Tingkir agar dapat
diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa, serta diampuni dari segala khilaf dan
dosa-dosanya. Aamiin
Narasumber:
- Wakhyudin
- Bah Karnadi
Referensi:
- https://sejarahcirebon.wordpress.com/2014/02/06/lahirnya-pangeran-walangsungsang/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Cirebon
- https://id.wikipedia.org/wiki/Joko_Tingkir
- https://putraramasejati.wordpress.com/jaka-tingkir-2/
- http://pensa-sb.info/perjanjian-portugis-pajajaran-1522/
CATATAN
PENULIS
Ini hanya sebuah spekulasi dari
penulis. Mencoba menghubungkan sejarah yang ada dengan cerita diatas. Berikut
ini beberapa spekulasi yang sudah penulis rangkum:
1. Pada tahun 1522 M,
Raja Padjadjaran Prabu Surawisesa melakukan perjanjian dengan Portugis. Dari
cerita diatas, Walangsungsang (1423 – 1529 M) pergi ke Muara Tujuh untuk memata-matai
Portugis. Jika kisah ini terjadi berdasar latar tersebut, maka pada saat itu
Walangsungsang berusia 101 tahun dan Jaka Tingkir (1499 – 1582 M) berusia 23
tahun.
2.
Pada masa sekarang
Rawagede terbagi menjadi empat desa yaitu Purwamekar, Mekarjaya, Sekarwangi,
serta Balongsari tempat dimana lokasi Kramat Jaka Tingkir berada. Tentu para
tokoh masyarakat tidak sembarangan asal menamai sebuah desa. Biasanya terdapat
sisi historis ataupun simbol/ciri yang mendeskripsikan keadaan suatu wilayah
yang bersangkutan. Penamaan Desa Balongsari terinspirasi dari Nini Balong kah?
Mungkin saja!
3.
Sempat penulis
berpikir kenapa bukan petilasan Walangsungsang yang dididirikan. Bukan bermaksud
mengecilkan seorang Jaka Tingkir, namun merujuk status Walangsungsang sebagai
mantan Raja Cirebon serta gurunya Jaka Tingkir pada waktu itu. Tentu karomahnya
sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Mungkin ini ada kaitannya dengan
penyamaran yang dilakukan Walangsungsang. Sehingga Ki Buntet tetap merahasiakan
jati diri Ki Cepret yang sebenarnya meskipun sudah meninggalkan Muara Tujuh.
Wallahu a’lam bishawabi
Wassalam.